728x90 AdSpace

  • Latest News

    Selasa, 23 Februari 2016

    Imlek dan Para Presiden Indonesia

    Oleh : Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.
    Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah 
    Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 

    Dimuat di Opini Tribun Jogja tanggal 05/02/2016

    SAUDARA-SAUDARA kita Tionghoa akan merayakan "Tahun Baru Imlek" 2567 Tahun Monyet Api, pada hari Senin (8/2/2016).
    Perayaan tahun baru yang dahulu tak bisa dirayakan secara terbuka di era Orde Baru, kala masyarakat Tionghoa terkekang untuk tampil di ruang publik sehingga identitas diri mereka pun terbenam.
    Apa awal mulanya Indonesia bersikap diskriminatif terhadap saudara-sarudar kita Tionghoa? Kita harus kembali melihat ulang sejarah bangsa, pada masa Presiden Soekarno berkuasa (Orde Lama).
    Ketika Republik Indonesia baru berdiri, Soekarno pada tahun 1946 mengeluarkan penetapan pemerintah mengenai hari-hari raya umat beragama No 2/OEM-1946.
    Pada pasal 4 ditetapkan empat hari raya orang Tionghoa, yaitu Tahun Baru Imlek, Hari Raya Wafatnya Khonghucu, Ceng Beng, dan Hari Lahir Khonghucu. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia konsisten dalam menghargai keberagaman dalam masyarakat.
    Berbeda, ketika Presiden Soeharto berkuasa (Orde Baru). Pada tahun1967, melalui Inpres No 14/1967 dilakukan pembatasan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina.
    Secara sistematis masyarakat Tionghoa menjadi tereliminasi atas identitas dirinya.
    Perayaan tradisi dan keagamaan masyarakat Tionghoa, mulai dari Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun, tarian Barongsai dan Liong, dilarang dirayakan/dipertunjukkan di ruang publik.
    Tekanan semakin diperkuat melalui Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB), yang menganjurkan keturunan Tionghoa melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa, menikah dengan orang Indonesia pribumi asli, menanggalkan dan menghilangkan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa (termasuk bahasa, kebiasaan, dan kebudayaan Tionghoa) dalam kehidupan sehari-hari.
    Muncul SE Mendagri No 477/74054 tahun 1978, yang berisi, antara lain, pemerintah menolak mencatat perkawinan pemeluk agama Khonghucu.
    Pemerintah juga menolak mencantumkan Khonghucu dalam kolom agama di KTP. Lalu, melalui surat Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag No H/BA.00/29/1/1993 pemerintah melarang perayakan Imlek di Vihara dan Cetya. Imlek hanya boleh dirayakan secara tertutup di dalam rumah.
    Di era reformasi, udara segar bagi masyarakat Tionghoa menampilkan ekspresi kultural dan religiusnya di ruang publik, tidak lepas dari pera Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), melalui Keppres No 6/2000 tentang pencabutan Inpres No14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa.
    Tahun 2001, melalui Keputusan Menteri Agama No13/2001, Imlekditetapkan sebagai hari libur nasional fakultatif. Baru pada masa Presiden Megawati, melalui Keppres No 19/ 2002, Imlek menjadi hari libur nasional mulai 2003.
    Semangat keberagaman ini semakin memperkokoh bangsa selama kita mengamalkan visi dan misi para pendiri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Harus kita renungkan, dalam bingkai Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI, keragaman budaya adalah kekayaan, kekuatan, potensi yang mampu menjunjung tinggi harga diri Tanah Air tercinta, untuk menjadi pusat perhatian dunia, dihargai dan disegani dunia. Xin Nian Kuai Le.



    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar :

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Imlek dan Para Presiden Indonesia Rating: 5 Reviewed By: Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.
    Yulius DC. Diberdayakan oleh Blogger.
    Scroll to Top